Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan
sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan
perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan
sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui
sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan
formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif
sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan
pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam
prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang
memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses
belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang
penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997
:105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu
dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat
mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar
akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk
mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya
penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang
mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil
belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk
mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang
disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
“
Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana
dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang
siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam
belajar.”
Proses belajar di sekolah
adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang
berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar,
seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena
inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam
belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang
optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi
adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk
mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk
menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya,
dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang
tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi
tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa
yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih
prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi
bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan
seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman
(2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi
kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan
lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient
(EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi,
mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta
kemampuan bekerja sama.
Dalam
proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak
dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional
terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya
kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ
merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002).
Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational
intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja,
melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
Hasil
beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur
neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970)
menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu
mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan
keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir,
mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi
agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja(Goleman, 2002 : 17).
Memang
harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami
keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak
mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia
mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang
dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ
sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi.
Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi
belajar seseorang.
Kemunculan
istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang
mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel
Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap
kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan
IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan
emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional
life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.
Menurut
Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan
akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak
beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan
dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya
secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan
emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber
masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi
namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat
sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak
mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan
dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya,
dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi.
No comments:
Post a Comment